PERKEMBANGAN BUDAYA LITERASI BANTEN
Baru saja Banten genap berusia 10 tahun pada 4 Oktober lalu. Tentu saja masyarakat bisa menilai bagaimana perkembangan Banten dari tahun ke tahun. Baik dari sisi kesejahteraan sosial, politik, ekonomi, dan yang tidak kalah penting dan yang mungkin hampir tidak semua orang menganggap ini penting ialah sisi literasi. Literasi di Banten harus menjadi bahan perhatian semua pihak. Karena sebuah Bangsa yang maju akan dicirikan dengan bagaimana perkembangan budaya literasi pada masyarakat. terlebih Banten memiliki sejarah bahwa pada masa lalu, Banten dikenal sebagai daerah yang mampu menghasilkan kaum cerdik seperti halnya Syekh Nawawi Al Bantani yang sampai saat ini namanya masih selalu terngiang di telinga masyarakat. Karena beliau telah menghasilkan ratusan kitab yang sampai saat ini menjadi rujukan pelajar, santri, mahasiswa di berbagai Negara.
Dengan memiliki riwayat sejarah seperti ini, sudah menjadi kewajiban putra-putri Banten untuk meneruskan jejak Syekh Nawawi Al Bantani agar budaya literasi di Banten semakin berkembang dan maju. Banten akan tetap mandeg, jika masyaraktnya tidak gemar membaca dan menulis. Karena itu, perlu adanya revolusioner terkait dengan perkembangan budaya literasi di Banten.
Selain itu, para tokoh pendiri Republik ini adalah sosok-sosok yang memiliki kegandrungan luar biasa terhadap buku. Soekarno, Sjahrir, Soepomo, Agus Salim, dan tokoh lainnya adalah tokoh-tokoh yang kutu buku. Mereka besar bukan sekadar karena sejarah pergerakan politiknya, tetapi mereka juga dikenal karena kualitas intelektualnya yang dibangun melalui membaca buku. Ini adalah contoh yang wajib ditiru.
Semestinya, kewajiban membaca dan menulis tidak usah lagi menjadi suatu perhatian. Mesti ada kesadaran dari setiap individu akan hal tersebut. Pasalnya, Tuhan sudah memerintahkan umat manusia untuk membaca dan menulis. Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (pena). Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Al’Alaq ayat 1-5). Dengan ayat tersebut betapa kita menjadi semakin paham bahwa Tuhan menginginkan setiap insan memiliki pemikiran yang maju, berpikir ke depan dengan segala ilmu yang terhampar luas di muka bumi untuk dipelajari. Dengan memiliki ilmu, manusia memiliki derajat yang tinggi. Dan dari ayat tersebut pula, Tuhan memiliki maksud tertentu, yakni untuk membedakan manusia dengan binatang, sebagai konsekuensi, diberikannya akal dan pikiran kepada kita. Akal dan pikiran akan semakin terasah dengan banyak membaca dan menulis.
Berbicara tentang budaya literasi, pelestarian akan riwayat Syekh Nawawi Al Bantani yang berhasil menciptakan berbagai kitab perlahan disadari oleh sebagian masyarakat yang peduli terhadap literasi Banten. Terbukti dengan munculnya penulis-penulis Banten yang karyanya tersebar di media lokal hingga nasional. Bahkan, beberapa tahun terakhir, penulis Banten mampu menerbitkan buku. Penulis-penulis tersebut seperti Gol A Gong, Toto ST Radik, Firman Venayaksa, Endang Rukmana, dan belum lama ini, Banten juga memiliki penulis muda yang mampu menerbitkan buku kumpulan cerpen berjudul Gilalova yang ditulis oleh Hilal Ahmad, dan kawan-kawan. Tentu hal ini sangat membanggakan. Karena masih ada kalangan atau komunitas yang berjuang untuk memajukan kembali minat baca dan tulis masyarakat Banten.
MALANGNYA PERPUSTAKAANKU
Dengan munculnya penulis-penulis di Banten, mungkin tidak diketahui banyak pihak. Padahal, mereka layak mendapat apresiasi yang tinggi dari masyarakat terlebih dari pemerintah. Karena dengan tulisan-tulisan mereka yang tersebar di berbagai media, bisa mengangkat nama baik Banten.
Namun sayangnya, salah satu bentuk kurangnya perhatian pemerintah terhadap perkembangan literasi Banten, bisa dilihat dari kondisi Perpustakaan Daerah (Perpusda) Banten yang memprihatinkan. Padahal, perpustakaan akan menjadi sebuah cermin, seberapa besar minat baca dan tulis suatu masyarakat.
Pada Agustus lalu, saya berkunjung ke perpusda Banten untuk mencari bahan referensi tugas kuliah. Kunjungan saya tersebut memang untuk yang pertama kalinya. Saat itu, hujan sangat deras. Saya hampir tidak percaya, ketika melihat kondisi perpustakaan yang sebenarnya kurang layak disebut perpustakaan daerah yang ideal. Bagaimana tidak? Hampir di setiap ruangan bocor, genangan air terlihat di setiap sudut ruangan, sebagian buku basah, sementara pegawai perpustakaan saat itu membiarkan kondisi seperti ini. Saya hanya bisa mengelus dada melihatnya. Ada tanda tanya besar dalam benak saya saat itu, seperti inikah perpustakaan untuk ukuran sebesar Provinsi? Bukannya sudah ada anggaran dana untuk pembangunan perpusda? Kenapa dibiarkan bocor? Dananya masuk kantong siapa? Dan masih banyak pertanyaan lain yang mengundang jawaban misteri. Dengan kondisi seperti ini, mana bisa pengunjung merasa nyaman? Seharusnya perpustakaan memanjakan pengunjung agar dia betah berlama-lama diperpustakaan. Menghabiskan waktu bercengkrama dengan buku.
Jum’at, (15/10) lalu, saya kembali datang ke perpusda dengan tujuan mendaftarkan diri sebagai anggota. Lagi-lagi saya harus mengelus dada. Karena alat pembuat kartu tidak tersedia. Rusak. Dan kondisi rusaknya alat tersebut sudah lama. Akhirnya kartu anggota perpusda hanya dengan sehelai kertas biasa. Lagi-lagi juga timbul tanda Tanya, sdah tahu rusak sejak lama kenapa dibiarkan? Apa tidak ada dana? Kemana dananya?
Bukan hanya beberapa peristiwa itu yang membuat saya harus mengelus dada. Namun saya dikagetkan, bahwa ternyata gedung perpusda saat ini berstatus kontrak. Itu artinya perpusda tidak memiliki gedung sendiri. Selama tuhuh tahun perpusda Banten tidak memiliki gedung. Tanya kenapa? Apakah perpusda kurang diprioritaskan? Jika memang iya, ini sungguh ironi. Bagi saya, perpustakaan seharusnya menjadi bagian dari prioritas utama untuk memajukan suatu daerah. Terutama Banten yang masih berstatus daerah berkembang.
Tapi saya menjadi sedikit lega, setelah mengetahui bahwa pemerintah daerah sudah mulai membangun gedung perpusda seluas 7.500 meter di dekat kampus Untirta. Menurut informasi yang didapat dari Radar Banten, edisi Sabtu, (14/11/09), bahwa rencananya tahun 2011 gedung tersebut sudah bisa dioperasikan. Semoga dengan adanya pembangunan gedung baru ini, pemerintah menjadi lebih mendukung dan memprioritaskan sisi literasi, agar budaya literasi di Banten semakin maju. Semoga!
Selengkapnya...
Semestinya, kewajiban membaca dan menulis tidak usah lagi menjadi suatu perhatian. Mesti ada kesadaran dari setiap individu akan hal tersebut. Pasalnya, Tuhan sudah memerintahkan umat manusia untuk membaca dan menulis. Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (pena). Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Al’Alaq ayat 1-5). Dengan ayat tersebut betapa kita menjadi semakin paham bahwa Tuhan menginginkan setiap insan memiliki pemikiran yang maju, berpikir ke depan dengan segala ilmu yang terhampar luas di muka bumi untuk dipelajari. Dengan memiliki ilmu, manusia memiliki derajat yang tinggi. Dan dari ayat tersebut pula, Tuhan memiliki maksud tertentu, yakni untuk membedakan manusia dengan binatang, sebagai konsekuensi, diberikannya akal dan pikiran kepada kita. Akal dan pikiran akan semakin terasah dengan banyak membaca dan menulis.
Berbicara tentang budaya literasi, pelestarian akan riwayat Syekh Nawawi Al Bantani yang berhasil menciptakan berbagai kitab perlahan disadari oleh sebagian masyarakat yang peduli terhadap literasi Banten. Terbukti dengan munculnya penulis-penulis Banten yang karyanya tersebar di media lokal hingga nasional. Bahkan, beberapa tahun terakhir, penulis Banten mampu menerbitkan buku. Penulis-penulis tersebut seperti Gol A Gong, Toto ST Radik, Firman Venayaksa, Endang Rukmana, dan belum lama ini, Banten juga memiliki penulis muda yang mampu menerbitkan buku kumpulan cerpen berjudul Gilalova yang ditulis oleh Hilal Ahmad, dan kawan-kawan. Tentu hal ini sangat membanggakan. Karena masih ada kalangan atau komunitas yang berjuang untuk memajukan kembali minat baca dan tulis masyarakat Banten.
MALANGNYA PERPUSTAKAANKU
Dengan munculnya penulis-penulis di Banten, mungkin tidak diketahui banyak pihak. Padahal, mereka layak mendapat apresiasi yang tinggi dari masyarakat terlebih dari pemerintah. Karena dengan tulisan-tulisan mereka yang tersebar di berbagai media, bisa mengangkat nama baik Banten.
Namun sayangnya, salah satu bentuk kurangnya perhatian pemerintah terhadap perkembangan literasi Banten, bisa dilihat dari kondisi Perpustakaan Daerah (Perpusda) Banten yang memprihatinkan. Padahal, perpustakaan akan menjadi sebuah cermin, seberapa besar minat baca dan tulis suatu masyarakat.
Pada Agustus lalu, saya berkunjung ke perpusda Banten untuk mencari bahan referensi tugas kuliah. Kunjungan saya tersebut memang untuk yang pertama kalinya. Saat itu, hujan sangat deras. Saya hampir tidak percaya, ketika melihat kondisi perpustakaan yang sebenarnya kurang layak disebut perpustakaan daerah yang ideal. Bagaimana tidak? Hampir di setiap ruangan bocor, genangan air terlihat di setiap sudut ruangan, sebagian buku basah, sementara pegawai perpustakaan saat itu membiarkan kondisi seperti ini. Saya hanya bisa mengelus dada melihatnya. Ada tanda tanya besar dalam benak saya saat itu, seperti inikah perpustakaan untuk ukuran sebesar Provinsi? Bukannya sudah ada anggaran dana untuk pembangunan perpusda? Kenapa dibiarkan bocor? Dananya masuk kantong siapa? Dan masih banyak pertanyaan lain yang mengundang jawaban misteri. Dengan kondisi seperti ini, mana bisa pengunjung merasa nyaman? Seharusnya perpustakaan memanjakan pengunjung agar dia betah berlama-lama diperpustakaan. Menghabiskan waktu bercengkrama dengan buku.
Jum’at, (15/10) lalu, saya kembali datang ke perpusda dengan tujuan mendaftarkan diri sebagai anggota. Lagi-lagi saya harus mengelus dada. Karena alat pembuat kartu tidak tersedia. Rusak. Dan kondisi rusaknya alat tersebut sudah lama. Akhirnya kartu anggota perpusda hanya dengan sehelai kertas biasa. Lagi-lagi juga timbul tanda Tanya, sdah tahu rusak sejak lama kenapa dibiarkan? Apa tidak ada dana? Kemana dananya?
Bukan hanya beberapa peristiwa itu yang membuat saya harus mengelus dada. Namun saya dikagetkan, bahwa ternyata gedung perpusda saat ini berstatus kontrak. Itu artinya perpusda tidak memiliki gedung sendiri. Selama tuhuh tahun perpusda Banten tidak memiliki gedung. Tanya kenapa? Apakah perpusda kurang diprioritaskan? Jika memang iya, ini sungguh ironi. Bagi saya, perpustakaan seharusnya menjadi bagian dari prioritas utama untuk memajukan suatu daerah. Terutama Banten yang masih berstatus daerah berkembang.
Tapi saya menjadi sedikit lega, setelah mengetahui bahwa pemerintah daerah sudah mulai membangun gedung perpusda seluas 7.500 meter di dekat kampus Untirta. Menurut informasi yang didapat dari Radar Banten, edisi Sabtu, (14/11/09), bahwa rencananya tahun 2011 gedung tersebut sudah bisa dioperasikan. Semoga dengan adanya pembangunan gedung baru ini, pemerintah menjadi lebih mendukung dan memprioritaskan sisi literasi, agar budaya literasi di Banten semakin maju. Semoga!