Rss Feed

Doa Seorang Napi


Memang benar apa yang sering dikatakan oleh banyak orang. Bahwa penyesalan hanyalah datang terakhir. Tapi mengapa aku tidak menyadari hal itu. Hingga akhirnya aku pun merasakan penyesalan yang amat sangat.

Ibu meninggal dunia delapan belas tahun yang lalu. Sejak aku dilahirkan dari rahim ibu, ibuku mempertaruhkan nyawanya demi keselamatanku. Aku sama sekali belum pernah merasakan hangat kasih sayang ibu. Melihat parasnya pun aku belum pernah, hanya bisa mendengar cerita dari tetangga tentang sosok ibuku yang sabar dan tabah menjalani hidup. Aku anak terakhir dari tiga bersaudara. Kakak pertamaku perempuan. Minarti namanya. Mbak Min, begitulah aku memanggilnya, sekarang sudah berumah tangga dan tinggal bersama suaminya dalam keadaan yang sederhana di Pekanbaru. Jarang sekali Mbak pulang kampung. Katanya tidak ada uang buat ongkos pulang. Kakak keduaku laki-laki, Feri namanya. Aku tinggal bersamanya sampai aku berusia tujuh tahun. Setelah itu aku tidak tahu dia berada dimana sampai sekarang. Kabar yang pernah aku dengar terakhir kali tentang kak Feri adalah dia menjadi pengkonsumsi narkoba bahkan pengerdar! Dan dia lari ke luar kota untuk menghindari kejaran polisi bersama teman-temannya. Sedangkan bapakku yang sekarang berusia empat puluh tiga tahun hanya seorang tukang bangunan. Pekerjaaanya tidak tetap. Sejak kecil aku diurus oleh nenekku yang sudah tua renta. Nenekku hanya mampu membiayai aku sekolah sampai tamat SD. Sejak aku duduk di bangku sekolah, aku tidak termasuk siswa yang dibawah rata-rata. Aku selalu mendapatkan peringkat tiga besar. Aku selalu bersemangat untuk pergi ke sekolah. Karena aku punya cita-cita ingin jadi orang sukses dan bisa membahagiakan kedua orangtua. Tapi setelah tamat sekolah dasar, aku tidak bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi karena faktor biaya. Sedih rasanya tidak bisa melanjutkan sekolah. Akhirnya aku hanya bisa menganggur, meratapi perihnya kehidupan. Namun nenekku menganjurkan agar aku tidak hanya diam saja di rumah. Lantas aku gabung bersama teman-teman yang berada di sekitar lingkungan rumah. Kebanyakan dari mereka seusia aku yang tidak bersekolah menjadi pengamen. Dan akhirnya, pekerjaan aku sekarang tidak beda dari mereka, jadi pengamen yang penghasilannya jauh dari cukup untuk memenuhi beban biaya sehari-hari. Sejak itu aku harus meninggalkan buku-buku pelajaran dan seragam merah putih. Mungkin lebih tepatnya seragam merah kekuning-kuningan, karena warna putihnya telah pudar saking terlalu seringnya dipakai. Maklumlah, hanya seragam satu-satunya. Itu pun pemberian dari orang lain. Aku jadi pengamen hingga usiaku delapan belas tahun. Kalau aku sekolah, aku sedang duduk di bangku SMA kelas tiga. Setelah itu aku alih pekerjaan, karena aku sudah mulai merasa malu jadi pengamen pada usia delapan belas tahun.
***
Hujan malam ini begitu deras. Menutupi keremangan jalan ditengah gelap gulitanya malam. Aku terpaku sendiri di sudut kota. Memandangi rintikan hujan yang membasahi bumi. Aku teringat akan masa kecilku, yang penuh belaian kasih sayang dari seorang nenek. Walaupun hidup dengan serba kekurangan. Tapi aku sangat merasakan kehangatan. Tapi sekarang, dimanakah kehangatan itu? Hanya dingin yang menyelimutiku malam ini. Kemudian ingatanku tertuju pada sosok orang yang pemarah, beringasan dan kasar. Dia yang meninggalkanku begitu saja. Dia adalah bapakku, Subandi. Sejak kecil aku selalu mendapatkan cacian, tamparan, bahkan pernah aku dipukulnya dengan besi. Karena itu, nenek mengajakku untuk tinggal bersamanya.
Rintikan air hujan terus membasahi bumi layaknya rintikan air mata yang membasahi pipiku. Merasuk hingga ke ulu hati yang pling dalam. Hingga tak terasa aku terlelap dalam mimpi malam yang mencekam.
***
Sang mentari mulai menampakkan diri dengan warnanya yang indah. Tak seindah hatiku pagi ini. Aku harus mulai merencenakan apa lagi yang harus aku kerjakan hari ini. Akhirnya aku mendapatkan ide. Walau awalnya ragu. Sungguh ragu dan takut. Tapi aku bertekad untuk menghapus segala keraguan itu. Daripada aku harus kelaparan hari ini hari esok dan seterusnya.
Siang mulai menyapa, sepanjang trotoar aku berjalan menerobos keramaian kota sambil berusaha mencari celah dan sasaran. Namun langkahku terhenti melihat sekumpulan polisi saat melakukan operasi. Aku membalikkan badan, bersembunyi. Saat tak lagi kulihat batang hidung polisi-polisi itu, aku melanjutkan perjalannaku menyusuri jalan diiringi panas yang menyengat, bercampur debu dan bisingan suara klakson motor dan mobil. Aku selamat dari incaran polisi. Tenang..., langkahku terhenti, lelah aku berjalan tanpa sedikitpun tenaga yang ku isi sejak pagi tadi. Tiba-tiba pedagang asongan yang menjual tahu dan lontong datang dan menghampiri. Kesempatan yang harus dimanfaatkan pikirku. Aku pun menatapnya tajam, pedagang itu membalikkan badan. Aku memanggilnya, dia pun terpaksa untuk kembali dan menghampiriku. Langsung saja aku ambil beberapa dagangannya tanpa bayaran. Dia meminta uang dariku. Tapi aku memberikan gumpalan tanganku padanya. Dia pun lari menjauhiku. Walaupun usianya lebih tua dariku, tapi dia takut karena badanku lebih besar dan sedikit mirip Ade Ray. Aku memakan makanan haram itu tanpa ada rasa dosa. Haram, bukan karena makanannya. Tapi karena cara aku mendapatkannya.
***
Aku kembali bertenaga. Langkahku semakin cepat. Karena aku harus segera menuju terminal. Jika terlambat, aku bisa tertinggal dari aksi teman-teman yang mendahuluiku mencari kesempatan. Aku pun tiba di terminal. Baru ada beberapa teman yang satu ’profesi’ denganku. Aku duduk di warung dekat terminal. Melihat orang-orang satu demi satu. Mataku tertuju pada seorang gadis kira-kira berusia tujuh belas tahun. Satu tahun lebih muda dariku. Dia terlihat kaku dan bingung. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Dia cantik dan banyak perhiasan yang dipakai. Aku terus memperhatikan gerak-geriknya. Dan tak lama kemudian aku mulai mendekati dia yang berada di tempat yang tidak begitu ramai. “kesempatan yang enggak boleh aku lewatkan” kataku. “Breeet…. Breet…” aku tarik perhiasan dan tasnya. Dia berteriak kencang, namun tak bisa mengalahkan kencangnya lariku. Misiku berhasil hari ini. Aku gembira walau sebenarnya bathinku teriak bersedih melihat ulahku. Inilah pekerjaanku sekarang setelah jadi pengamen; penjambret, pencuri, penodong!
Berkali-kali aku berhasil melakukan tindakan yang seperti itu. Ada sedikit rasa bangga padaku. Namun sejuta rasa perih di dadaku. Aku kembali pulang mencari tempat persembunyian.
***
Hingga pada suatu hari….
Tempat yang aku singgahi sekarang, memang lebih aman. Namun aku tidak lagi bisa melakukan aksi di terminal, di pasar-pasar, atau di tempat yang banyak kesempatan untuk mencari sasaran. Karena tempat yang aku singgahi, penuh dengan jeruji besi. Hingga aku tak lagi bisa berbuat apa-apa. Hanya berdiam diri, terpaku dan merana. Meratapi hidupku yang gelap. Sudah dua tahun aku berada di tempat ini. Aku berhasil ditangkap oleh polisi setelah sekian lama polisi mencari aku yang menjadi buronan. Di balik jeruji besi itu, aku kembali memikirkan keluargaku, mungkin ibuku gelisah di alam kubur sana, karena aku anak kandungnya sendiri tidak sempat dan bahkan tidak menyempatkan diri untuk mendoakan almarhumah ibu. Aku memang anak bodoh, bu! Aku sampai tidak ingat apa yang telah diajarkan oleh guru agamaku waktu SD, bahwa surga itu ada di bawah telapak kaki ibu. Maafkan aku, bu. Bapak, bapak dimana? Tega nian bapak meninggalkan aku dan membiarkan anak-anakmu. Aku benci Bapak! Walaupun sebenarnya aku tidak pantas untuk mrmbenci bapak. Karena bagaimanapun, aku adalah darah daging bapak. Tapi, entahlah rasa benci itu selalu menghantuiku. Lebih-lebih jika aku teringat tajamnya tatapan mata bapak saat memarahiku, caciannya, pukulannya. Semua itu yang membuat aku benci pada bapak. Padahal tak selayaknya aku mendapatkan semua kekerasan itu saat usiaku masih sangat kecil. Mbak Minarti, adikmu kini sedang berada di penjara, mbak. Perih! Mbak kapan pulang? Kak Feri.... kakak yang egois! Hanya bisa memikirkan diri sendiri, sampai tak ingat pada adikmu ini. Dan mungkin, kakak pun sama dengan aku, sedang menjerat dalam tahanan polisi?! Malang nian nasib kita ya kak. Nenek... nek, aku mengucapkan terima kasih atas semua kasih sayang yang telah nenek berikan padaku. Entah aku harus berkata apa pada nenek andai saja saat ini nenek melihat keadaan aku. Aku tak kuasa melihat wajah nenek yang pasti kaget luar biasa melihat cucumu ini berada dalam tahanan. Karena nenek mengenalku sebagai anak yang pintar, baik dan penurut. Tapi semakin dewasa aku semakin liar, hingga akhirnya aku mendekam di dalam tahanan. Maafkan aku, nek! Aku telah mengecewakanmu. Lebih baik nenek tidak tahu keadaanku sekarang. Aku telah mengecewakan semuanya. Aku memang salah dan amat berdosa.
Tak terasa aku menitikkan air mata ke atas ubin yang penuh dengan debu. Namun aku yakin, debu-debu itu tak sebanyak debu dosaku selama ini. Berapa banyak orang yang kehilangan perhiasaanya, berapa rumah yang telah aku curi barang-barangnya. Berapa banyak orang yang telah aku todong.... berapa banyak orang-orang yang tak berdosa kepadaku, tapi aku jahati? Kini aku hanya bisa menghakimi diri sendiri yang tak berarti. Masa depanku hancur oleh perbuatanku. Aku kehilangan harapan, aku kehilangan cita-cita yang sejak kecil aku punya keinginan untuk dapat membahagiakan kedua orangtua dan keluarga. Tapi apa yang aku dapati? Aku mengecewakan mereka! Aku kehilangan segalanya.
Dan dalam kelemahan dan ketidakberdayaanku, disaat aku kehilangan segalanya dan merasa tiada siapa-siapa selain diriku, aku teringat bahwa ada Zat yang selalu ada dan kekal. Ialah Allah. Dan aku mencoba untuk kembali ke jalanNya, mohon ampun atas dosa dan noda. Aku berjanji, setelah kejadian ini aku akan kembali bersemangat layaknya masa kecilku yang semangat pergi ke sekolah untuk menjadi manusia yang berguna. Dan dalam sujud taubatku, aku hanya memohon satu permintaan, ampuni aku ya Rabb....


0 komentar:

Posting Komentar