Suatu sore gemercik hujan membasahi Serang. Tak terkecuali kawasan Untirta. Sudah 10 menit Nawiri mematung di halte depan kampus. Rupanya dia sedang menunggu putranya yang hendak menjemput. Padahal , biasanya Nawiri pulang ke rumah yang beralamat di Cimuncang Serang menggunakan angkot. Dia pun pulang lebih cepat dari biasanya. Semestinya dia baru diperbolehkan pulang pukul 4. Tapi sore itu pukul setengah 4 dia pulang.
Sudah dua puluh tahun pria paruh baya itu berprofesi sebagai pesuruh di Untirta. Setiap pagi Nawiri bergegas ke kampus membersihkan lapangan utama. Namun sejak delapan tahun terakhir, dia menjadi pesuruh di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Jam 7 pagi, sebelum civitas kampus datang, Nawiri datang terlebih dahulu untuk membersihkan semua isi ruangan fakultas. Menyapu, mengepel, merapikan rak-rak, adalah pekerjaan yang dia lakukan setiap pagi. Selepas itu, hanya menunggu perintah dari siapapun yang memerlukan tenaganya yang kian melemah. Ya, kian melemah dimakan usia yang semakin renta. Kini Nawiri berusia 64 tahun. Setiap hari Nawiri melakukan hal sama. Jika tidak ada kerjaan, dia hanya duduk dan menunggu perintah.
Meski usianya yang semakin tua, Nawiri tak patah arang bekerja tanpa lelah. Demi memenuhi biaya kehidupan sehari-hari. Juga demi ke-10 anaknya.
“Kebutuhan sekarang makin mahal. Apalagi biaya sekolah anak saya. Sekarang dia sudah kelas satu SMA,” ujar Nawiri sore itu.
Selama bekerja, Nawiri lebih banyak diam. Tak banyak bicara tak banyak menuntut. Nawiri selalu berusaha menerima apa yang telah Sang Pencipta berikan padanya. Meskipun kadang hati menjerit, namun Nawiri selalu berusaha tegar. Selama dua puluh tahun bekerja, hingga saat ini penghasilannya masih dibawah cukup. Hanya baru menghasilkan Rp. 500.000 per bulan.
Nawiri merasa Untirta telah memberikan kesejahteraan baginya. Meskipun kadang Nawiri mengeluhkan upah, namun Nawiri berusaha untuk ihlas. Karena Nawiri yakin, keikhlasan akan membuat keberkahan bagi dirinya.
“Dalam menjalani hidup ini, saya lebih baik pasrah. Menerima dan menikmati apa yang telah dituliskan Allah,” kata Nawiri.
Untuk memenuhi kebutuhan yang semakin hari semakin membengkak, Nawiri menerima jasa menjahit di rumah. Usai bekerja sejak pagi hinga petang, di malam hari ia harus menjahit jika ada orderan. Rupanya, sebelum Nawiri bekerja di Untirta, Nawiri adalah seorang penjahit.
“Sebelumnya saya menjahit. Namun karena sepi. Saya pikir harus mencari kerjaan lain. Akhirnya saya diajak paman bekerja di sini, ya sampai sekarang saya kerja di Untirta,” kata pria kelahiran Serang, 20 Oktober 1946 ini.
Meski usianya yang semakin tua, Nawiri tak patah arang bekerja tanpa lelah. Demi memenuhi biaya kehidupan sehari-hari. Juga demi ke-10 anaknya.
“Kebutuhan sekarang makin mahal. Apalagi biaya sekolah anak saya. Sekarang dia sudah kelas satu SMA,” ujar Nawiri sore itu.
Selama bekerja, Nawiri lebih banyak diam. Tak banyak bicara tak banyak menuntut. Nawiri selalu berusaha menerima apa yang telah Sang Pencipta berikan padanya. Meskipun kadang hati menjerit, namun Nawiri selalu berusaha tegar. Selama dua puluh tahun bekerja, hingga saat ini penghasilannya masih dibawah cukup. Hanya baru menghasilkan Rp. 500.000 per bulan.
Nawiri merasa Untirta telah memberikan kesejahteraan baginya. Meskipun kadang Nawiri mengeluhkan upah, namun Nawiri berusaha untuk ihlas. Karena Nawiri yakin, keikhlasan akan membuat keberkahan bagi dirinya.
“Dalam menjalani hidup ini, saya lebih baik pasrah. Menerima dan menikmati apa yang telah dituliskan Allah,” kata Nawiri.
Untuk memenuhi kebutuhan yang semakin hari semakin membengkak, Nawiri menerima jasa menjahit di rumah. Usai bekerja sejak pagi hinga petang, di malam hari ia harus menjahit jika ada orderan. Rupanya, sebelum Nawiri bekerja di Untirta, Nawiri adalah seorang penjahit.
“Sebelumnya saya menjahit. Namun karena sepi. Saya pikir harus mencari kerjaan lain. Akhirnya saya diajak paman bekerja di sini, ya sampai sekarang saya kerja di Untirta,” kata pria kelahiran Serang, 20 Oktober 1946 ini.
0 komentar:
Posting Komentar